Selasa, 01 Desember 2009
Papua Merdeka?
Peringatan tersebut dilakukan hanya dengan acara ibadah syukuran di pendopo mendiang Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay. Acara dimulai dengan pembacaan doa pendeta, kemudian disusul dengan pidato politik Sekjen PDP, Thaha Al Hamid dan sejumlah tokoh adat lainnya. Dalam pidatonya, Al Hamid menekankan agar perjuangan Papua Merdeka dilakukan dengan cara-cara damai dan meminta pendukungnya untuk tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kalau kita membuka lagi sejarahnya, tanggal 1 Desember yang diperingati sebagai hari kemerdekaan Papua tersebut adalah peringatan atas suatu hari pada tanggal 1 Desember 1961, dimana Pemerintah Kolonial Belanda mengijinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di tanah Papua yang ketika itu masih dikuasai oleh Belanda, meski saudara-saudaranya yang lain di Maluku dan daerah lainnya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memproklamirkan kemerdekaannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, beberapa tahun kemudian, Papua akhirnya bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra atas terselenggaranya peringatan tersebut, sebagai Negara Demokrasi, Pemerintah Indonesia tentu berkewajiban untuk menghormati kebebasan berpendapat setiap warga negaranya yang dijamin oleh Undang-undang. Keputusan Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan izin atas peringatan tersebut sudah sangat tepat, tentu dengan syarat dapat berlangsung dengan aman dan tertib serta tidak melanggar Undang-undang, seperti pengibaran bendera, tindakan anarkis, dan sebagainya.
Setiap pihak, baik yang pro maupun yang kontra tentu didukung dengan argumentasinya masing-masing. Pihak yang pro akan mengatakan, Papua sesungguhnya sudah memperoleh kemerdekaan dari Belanda sebelum direbut oleh Indonesia, alasan lainnya secara etnis dan ras, rakyat Papua yang ras Melanesia berbeda dengan rakyat Indonesia umumnya yang Melayu. Sebaliknya pihak yang kontra akan mengatakan sesungguhnya Belanda tidak pernah memberikan kemerdekaan kepada rakyat Papua, alasan lainnya ras rakyat Papua sama dengan ras penduduk di Maluku dan Nusa Tenggara yang merupakan bagian dari Indonesia, sehingga tidak ada alasan bagi rakyat Papua untuk menolak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saya pribadi yang kebetulan dibesarkan di Papua, tentu sangat menghargai dan menghormati apapun pendapat dan aspirasi saudara-saudara saya di Papua, termasuk aspirasi untuk Merdeka. Perbedaan pendapat dan keinginan adalah hal yang wajar, sepanjang disampaikan dengan cara-cara yang damai dan santun. Sesungguhnya argumentasi apapun tidak ada yang mutlak benar, karena kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan. Oleh karenanya, sebagai ummat Tuhan, semestinya kita mengikuti kehendak Tuhan. Bukankah kehendak Tuhan adalah kita semua dapat hidup di dunia ini secara harmonis dalam persaudaraan dan cinta damai tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama?
Minggu, 25 Oktober 2009
Kabinet Indonesia Bersatu atau Kabinet Koncoisme?
Sesungguhnya jabatan menteri memang merupakan jabatan politis, sehingga wajar apabila SBY lebih banyak mempertimbangkan aspek politis ketimbang kompetensi. Namun demikian tidak berarti SBY tidak mempertimbangkan aspek kompetensi sama sekali karena banyak juga orang-orang partai yang mempunyai latar belakang pendidikan, pengetahuan dan pengalaman di bidang profesional. Banyak orang partai yang juga sekaligus seorang profesional.
Figur SBY yang kalem, santun, dan religius memang merupakan magnit buat sebagian besar rakyat Indonesia yang secara kultur dan psikologis lebih menyukai orang-orang dengan karakter seperti SBY. Karakter yang sama juga melekat pada diri Boediono. Satu hal yang menarik, apabila kita menilik pada karakter para menteri pilihan SBY kali ini, bisa dibilang orang-orang yang dipilih sebagian besar mempunyai karakter yang kalem, santun, dan religius. Karakter tersebut bisa kita temukan antara lain pada diri Hatta Radjasa, Djoko Suyanto dan Agung Laksono yang dipercaya menjadi Menteri Koordinator. Hal tersebut menunjukkan kepada kita betapa SBY tidak hanya mempertimbangkan aspek politis dan kompetensi, namun juga pada kepribadian seseorang. Tugas seorang menteri adalah membantu presiden dalam menjalankan pemerintahan, oleh karenanya wajar apabila seorang presiden akan memilih orang-orang yang dapat dipercaya dan mempunyai karakter yang cocok dengan dirinya. SBY juga hanya memilih orang-orang yang mau loyal kepadanya, sebagaimana telah dia tegaskan pada pelantikan KIB II yang lalu. Presiden adalah nakhoda, loyalitas dan garis pertanggung jawaban menteri kepada presiden, bukan kepada pimpinan partainya masing-masing.
Hal yang perlu kita camkan adalah sistem pemerintahan yang kita anut adalah sistem pemerintahan presidensil. Rakyat memilih presidennya, lalu presiden yang memilih para menteri sebagai pembantunya. Setuju atau tidak setuju, pemilihan dan pengangkatan menteri adalah hak prerogatif presiden. Seorang presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk memilih para pembantunya berdasarkan pertimbangan subyektifitasnya. Baik-buruknya kinerja para menteri nanti akan mereka pertanggung jawabkan kepada presiden sebagai kepala pemerintahan, sedangkan baik-buruknya kinerja para menteri yang mengakibatkan baik-buruknya pemerintahan adalah tanggung jawab presiden kepada rakyatnya. Namun demikian SBY tentu tetap memikirkan segala dampak dari pilihannya, hal tersebut dapat kita cermati dari penegasannya kepada para menteri untuk mengabdikan pikiran, waktu dan tenaganya untuk kepentingan rakyat dan kinerja para menteri tersebut akan dievaluasi setiap tahunnya, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadinya reshuffle kabinet.
Demikianlah. Pemerintahan baru telah terbentuk, kita berikan kesempatan kepada mereka untuk mulai bekerja, tidak adil rasanya, apabila baru dilantik kita sudah meragukan apalagi menilai kinerja mereka. Mari kita dukung pemerintahan ini dengan satu tujuan untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
SBY-Boediono
Setiap pemimpin tentu mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara yang dipimpinnya. Baik-buruknya, maju-mundurnya suatu bangsa dan negara adalah tanggung jawab Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun demikian sehebat apapun seorang pemimpin, apabila tidak didukung oleh rakyatnya, maka dia tidak akan dapat menjalankan pemerintahannya dengan baik. Hal itulah yang mendorong SBY untuk mengajak semua komponen bangsa untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara ini. Hal tersebut tercermin jelas dalam komposisi kabinet yang baru dilantiknya. Posisi menteri banyak diisi oleh orang-orang partai politik dan profesional atau gabungan keduanya, dengan latar belakang yang beragam, baik suku, agama maupun ras. Bahkan di parlemen, SBY dengan Partai Demokratnya juga telah menjalin koalisi dengan lima partai besar seperti PKS, PAN, PKB, PPP, dan Golkar atau telah menguasai lebih 60% kursi di parlemen. Bahkan PDIP yang sebelumnya menjadi oposisi, meski masih terkesan malu-malu, telah mengubah haluan politiknya dengan tidak lagi menjadi oposisi.
Keadaan ini tentu menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kekuasaan yang absolut dan otoritarian seperti masa Orde Baru silam, dimana DPR yang semestinya menjadi lembaga penyeimbang dan mengawasi jalannya pemerintahan, justru hanya menjadi lembaga tukang stempel yang mengiyakan apapun kebijakan pemerintah. Keadaan ini jelas mengancam kehidupan berdemokrasi di Negara yang sejak awal reformasi lalu dipuji oleh Negara-negara lain sebagai Negara demokrasi yang sukses. Namun demikian dapat dimaklumi juga mengapa SBY begitu berkeinginan untuk merangkul semua partai dalam koalisi besarnya. SBY tentu telah mengambil pelajaran yang sangat berharga dari kondisi pemerintahan yang dipimpinnya pada periode lima tahun sebelumnya, dimana pemerintah ketika itu sering menghadapi kendala dan tidak bisa leluasa menjalankan kebijakan-kebijakannya karena prilaku sebagian anggota parlemen yang terlalu sering mengkritik secara tidak proporsional setiap kebijakan pemerintah, bahkan sampai menggunakan hak angket dan ancaman-ancaman impeachment. DPR yang pada masa Orde Baru hanya sebagai tukang stempel, pada masa pemerintahan SBY justru menjadi lembaga yang sangat agresif dan overacting.
Demikianlah. Pemerintahan baru telah terbentuk, kita berikan kesempatan kepada mereka untuk mulai bekerja dengan baik, tidak adil rasanya, apabila baru dilantik kita sudah meragukan apalagi menilai kinerja mereka. Mari kita dukung pemerintahan ini dengan satu tujuan untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
Rabu, 01 Juli 2009
Pemilihan Presiden
Seminggu lagi, tepatnya pada tanggal 8 Juli 2009, kita akan melakukan pemilihan umum Presiden Republik Indonesia (Pilpres). Seorang Presiden adalah pemimpin bagi rakyat di negara yang dipimpinnya. Setiap pemimpin tentu mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara yang dipimpinnya. Baik-buruknya, maju-mundurnya bangsa dan negara tanggung jawab Presiden selaku kepala negara maupun kepala pemerintahan. Itulah sebabnya kita harus untuk berhati-hati dan tidak salah dalam memilih presiden, karena presiden yang kita pilih nanti akan memimpin negeri ini selama lima tahun ke depan. Oleh karenanya seorang presiden minimal harus memenuhi syarat-syarat pokok seorang pemimpin yang baik, seperti mempunyai kapabilitas, pengetahuan yang memadai, jujur, dan amanah.
Ada tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan menjadi kontestan dalam pilpres kali ini, yaitu pasangan Megawati Soekarno Putri dan Prabowo Subianto (Mega-Pro), pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono (SBY-Boediono), dan pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto (JK-Win). Sebagai manusia, ketiga pasangan tersebut tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tinggal bagaimana kita menyikapinya dan menentukan pilihan yang mana yang paling mendekati syarat ideal pemimpin bangsa Indonesia.
Kita mulai dengan nomor urut 1, yaitu pasangan Mega-Pro., dengan slogannya : pro rakyat. Kelebihan dari pasangan ini yang patut diacungi jempol ada pada program-program ekonomi kerakyatannya yang sangat berpihak pada rakyat kecil. Mereka bahkan berani untuk melakukan kontrak-kontrak politik langsung dengan kaum petani, nelayan, buruh, pedagang pasar, dan mahasiswa. Program ekonomi kerakyatan yang mereka janjikan ini diyakini merupakan program yang paling cocok untuk rakyat Indonesia yang income perkapitanya masih rendah dan masih tingginya tingkat kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin. Bahkan ekonomi kerakyatan ini sesungguhnya sangat sesuai dengan sila kelima dari dasar negara kita, Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal yang menjadi kekhawatiran adalah adanya keraguan atas kesiapan tim ekonomi mereka dalam implementasi program-program ekonomi kerakyatan mereka nantinya. Suatu pekerjaan yang tidak mudah karena mereka harus melakukan revolusi sistem ekonomi dari sistem ekonomi yang semi-pasar (semi-liberal) ke sistem ekonomi kerakyatan (sosialis) .
Pasangan berikutnya dengan nomor urut 2 adalah SBY-Boediono dengan slogan : lanjutkan. Figur SBY selaku Presiden yang masih menjabat saat ini merupakan kekuatan utama pasangan ini. Bahkan ketika Partai Demokrat secara mengejutkan memenangi pemilu legislatif kemarin, banyak orang – terutama pendukungnya – yang meyakini bahwa dipasangkan dengan siapapun, SBY akan tetap menang. Figur SBY yang kalem, santun, dan religius memang merupakan magnit buat pemilih Indonesia yang secara kultur dan psikologis lebih menyukai orang dengan karakter seperti SBY. Karakter yang sama juga melekat pada diri Boediono. Namun bukan berarti pasangan ini tanpa kelemahan. Sebagaimana yang sering diungkapkan oleh lawan-lawan politiknya, SBY dinilai terlalu berhati-hati bahkan terkesan lamban dalam mengambil keputusan, termasuk untuk hal-hal krusial yang membutuhkan kecepatan dalam pengambilan keputusan. Kelemahan lainnya ada pada track record cawapres-nya Boediono yang dikenal sebagai pengusung aliran ekonomi neoliberal, suatu aliran ekonomi yang mempertuhankan kebebasan individu, kepentingan diri (self interest), dan ekonomi pasar. Aliran yang di negeri asalnya sendiri, Amerika Serikat, sudah mulai ditinggalkan, terutama sejak krisis finansial global. Meski stigma miring tersebut telah berulang-kali dibantah oleh SBY dengan penegasan bahwa pemerintahannya nanti tidak akan menerapkan sistem ekonomi neoliberal ataupun ekonomi komunis atau komando, tetapi ekonomi yang diistilahkannya sebagai sistem ekonomi jalan-tengah.
Pasangan berikutnya dengan nomor urut 3 adalah JK-Win dengan slogannya : lebih cepat, lebih baik. Kekuatan pasangan ini ada pada figur Jusuf Kalla yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Presiden dan Ketua Umum Partai Golkar. Figur mantan pengusaha ini merupakan fenomenon dalam sejarah Wakil Presiden karena perannya yang besar dalam pemerintahan dan bukan sekedar ban serep seperti yang diperankan oleh Wakil Presiden sebelumnya. Sebagai Wakil Presiden, dia dinilai lugas, sangat agresif dan berani dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintahan dengan cepat. Hal tersebut bisa dilihat dari perannya yang besar, baik dalam eksekusi kebijakan politik maupun ekonomi, seperti aktif dan menandatangani Perdamaian Aceh di Helsinki dan keberaniannya untuk tampil pasang badan untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populer seperti kenaikan harga BBM misalnya. Dia juga mempunyai pengalaman yang banyak dalam menyelesaikan konflik-konflik lainnya di dalam negeri seperti di Poso dan Ambon. Karakternya yang cepat, lugas, dan tegas dinilai sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia yang saat ini masih tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Kekuatan lainnya tentu ada pada karakter Wiranto. Mantan Panglima ABRI yang tenang dan pandai mengendalikan emosi ini dinilai bisa mengimbangi agresivitas JK. Namun pasangan ini juga dibayang-bayangi oleh kekhawatiran adanya conflict of interest pada bisnis anggota keluarga JK.
Demikianlah plus-minus ketiga kontestan capres dan cawapres kita. Selamat memilih. Mari kita memilih dengan cerdas, bukan dengan perasaan emosi, sentimen suku, ras, dan agama, atau hal negatif lainnya, tetapi semata-mata dengan semangat untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera. Siapapun yang akhirnya nanti menjadi pemenang dan tampil menjadi pemimpin di negeri ini, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, sudah sepatutnya kita dukung dengan satu tujuan untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
Rabu, 17 Juni 2009
Ganyang Malaysia?
Sebagai Warga Negara Indonesia yang lahir dan hidup di tanah tumpah darah Indonesia, tentu saya sangat mencintai negeri saya ini. Saya pun tidak akan rela harga diri bangsa dan negara saya yang diproklamirkan oleh para pejuang bangsa dengan mengorbankan jiwa dan raga diinjak-injak oleh negara lain. Namun demikian tidak lantas, sikap kurang simpatik dari negeri jiran itu kita balas dengan caci-maki, apalagi sampai mengobarkan semangat perang. Bukankah perang hanya akan menyengsarakan rakyat kedua negara dan bukankah setiap masalah bisa dicarikan solusinya melalui perundingan, seperti yang tengah dilakukan oleh pemerintah kedua belah pihak.
Malaysia adalah negeri serumpun dengan kita. Faktanya Indonesia dan Malaysia adalah saudara sedarah, dalam pengertian etnis, bahasa, dan agama mayoritas kedua negara ini sama. Bahkan kalau mau disensus, saya meyakini sebagian besar penduduk Malaysia yang melayu itu mempunyai hubungan historis yang tidak bisa terpisahkan dengan penduduk Indonesia, entah itu karena keturunan maupun perkawinan. Sebagai buktinya, selain memiliki kesamaan etnis, bahasa dan agama dengan penduduk Indonesia yang ada di Sumatera dan Kalimantan, di Malaysia juga terdapat beberapa daerah yang menggunakan nama etnis terbesar di Indonesia, seperti kampong Jawa dan kampong Bugis. Pusat Pemerintahan Malaysia yang megah di Putrajaya dibangun dengan menggunakan ribuan tenaga kerja dari Indonesia. Bahkan Perdana Menteri Malaysia yang sekarang, Mohammad Najib Tun Abdul Razak adalah masih keturunan raja Gowa di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.
Kesimpulannya, secara kultur etnis, bahasa, dan agama, tidak ada perbedaan antara Indonesia dan Malaysia, kita hanya terpisah secara politik karena kebetulan pernah dijajah oleh dua bangsa eropa yang berbeda, Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, sedangkan Malaysia pernah dijajah oleh Inggris. Oleh karenanya terlalu berlebihan kiranya, apabila setiap masalah, sengketa maupun konflik harus diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, alangkah eloknya apabila semua itu diselesaikan oleh pemerintah kedua belah pihak di meja perundingan dengan prinsip kesetaraan, persaudaraan, dan saling menghormati. Semoga.
Sabtu, 24 Januari 2009
Presiden Barack Hussein Obama
Barack Hussein Obama akhirnya dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-44 di Capitol Hill, Washington D.C. dihadapan sekitar dua juta orang yang memadati National Mall. Dialah Presiden AS yang paling fenomenon, presiden berkulit hitam pertama di AS yang menjadi anomali bagi doktrin politik WASP (White – Anglo Saxon – Protestant). Dalam sejarah pemilihan presiden AS, belum pernah ada seorang calon presiden AS yang juga begitu diharapkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia seperti Obama. Dengan modal pembawaannya yang percaya diri namun tenang, murah senyum, dan kemampuannya dalam berorasi, serta janjinya untuk melakukan perubahan, dia telah menjadi inspirasi bagi banyak orang yang menempatkan dirinya sebagai simbol demokrasi, persamaan, dan perubahan, bahkan saat ini dia telah menjadi selebritis dan magnit bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Obama bukanlah mesiah atau nabi, dia hanyalah manusia biasa yang ingin melakukan perubahan. Sebagai Presiden dari negeri yang multi etnis, ras, dan keyakinan, dia juga harus mengakomodasi berbagai kepentingan rakyatnya yang berkulit putih maupun hitam, beragama nasrani maupun yahudi, namun setidaknya dia telah memberikan secercah harapan untuk perubahan wajah AS menjadi negara yang lebih demokratis, bersahabat, dan santun.
Diposkan oleh adnan di 01:03 5 komentar
Tragedi Gaza
Tragedi Jalur Gaza
Dua pekan sudah Izrael memborbardir Jalur Gaza, sedikitnya 800 orang telah kehilangan nyawa, sebagian diantaranya adalah anak-anak dan wanita yang tidak berdosa, dan masih ada 3.300 orang yang terluka. Demikian kata Kepala Pelayanan Darurat Gaza, dr. Muawiya (Kompas, Jumat, 9/1). Sebagian besar korban adalah warga sipil, hanya sebagian kecil anggota HAMAS yang konon menjadi target yang sesungguhnya dari agresi militer Izrael kali ini. Sedangkan di pihak Israel, 10 tentara tewas dalam agresinya ke jalur Gaza, 3 diantaranya adalah korban friendly fire atau korban salah tembak oleh temannya sendiri, dan tiga warga sipil tewas karena roket dan mortir yang ditembakkan dari Gaza sejak awal serangan.