Pada hari Kamis, tanggal 22 Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah melantik para menterinya yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II). Seperti sudah diduga sebelumnya, posisi menteri banyak diisi oleh orang-orang partai politik dan profesional atau gabungan keduanya, dengan latar belakang yang beragam, baik suku, agama maupun ras. Banyak kritikan yang menyatakan kabinet ini tidak jauh berbeda dengan kabinet KIB I sebelumnya yang lebih banyak mempertimbangkan aspek politis daripada kompetensi. Banyak posisi menteri yang diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten di bidangnya, bahkan ada kesan beberapa menteri diangkat hanya sebagai balas jasa atas dukungannya sebagai pimpinan partai koalisi maupun karena keberaniannya untuk secara terang-terangan memberikan dukungannya kepada SBY dalam kampanye pemilihan presiden yang lalu.
Sesungguhnya jabatan menteri memang merupakan jabatan politis, sehingga wajar apabila SBY lebih banyak mempertimbangkan aspek politis ketimbang kompetensi. Namun demikian tidak berarti SBY tidak mempertimbangkan aspek kompetensi sama sekali karena banyak juga orang-orang partai yang mempunyai latar belakang pendidikan, pengetahuan dan pengalaman di bidang profesional. Banyak orang partai yang juga sekaligus seorang profesional.
Figur SBY yang kalem, santun, dan religius memang merupakan magnit buat sebagian besar rakyat Indonesia yang secara kultur dan psikologis lebih menyukai orang-orang dengan karakter seperti SBY. Karakter yang sama juga melekat pada diri Boediono. Satu hal yang menarik, apabila kita menilik pada karakter para menteri pilihan SBY kali ini, bisa dibilang orang-orang yang dipilih sebagian besar mempunyai karakter yang kalem, santun, dan religius. Karakter tersebut bisa kita temukan antara lain pada diri Hatta Radjasa, Djoko Suyanto dan Agung Laksono yang dipercaya menjadi Menteri Koordinator. Hal tersebut menunjukkan kepada kita betapa SBY tidak hanya mempertimbangkan aspek politis dan kompetensi, namun juga pada kepribadian seseorang. Tugas seorang menteri adalah membantu presiden dalam menjalankan pemerintahan, oleh karenanya wajar apabila seorang presiden akan memilih orang-orang yang dapat dipercaya dan mempunyai karakter yang cocok dengan dirinya. SBY juga hanya memilih orang-orang yang mau loyal kepadanya, sebagaimana telah dia tegaskan pada pelantikan KIB II yang lalu. Presiden adalah nakhoda, loyalitas dan garis pertanggung jawaban menteri kepada presiden, bukan kepada pimpinan partainya masing-masing.
Hal yang perlu kita camkan adalah sistem pemerintahan yang kita anut adalah sistem pemerintahan presidensil. Rakyat memilih presidennya, lalu presiden yang memilih para menteri sebagai pembantunya. Setuju atau tidak setuju, pemilihan dan pengangkatan menteri adalah hak prerogatif presiden. Seorang presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk memilih para pembantunya berdasarkan pertimbangan subyektifitasnya. Baik-buruknya kinerja para menteri nanti akan mereka pertanggung jawabkan kepada presiden sebagai kepala pemerintahan, sedangkan baik-buruknya kinerja para menteri yang mengakibatkan baik-buruknya pemerintahan adalah tanggung jawab presiden kepada rakyatnya. Namun demikian SBY tentu tetap memikirkan segala dampak dari pilihannya, hal tersebut dapat kita cermati dari penegasannya kepada para menteri untuk mengabdikan pikiran, waktu dan tenaganya untuk kepentingan rakyat dan kinerja para menteri tersebut akan dievaluasi setiap tahunnya, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadinya reshuffle kabinet.
Demikianlah. Pemerintahan baru telah terbentuk, kita berikan kesempatan kepada mereka untuk mulai bekerja, tidak adil rasanya, apabila baru dilantik kita sudah meragukan apalagi menilai kinerja mereka. Mari kita dukung pemerintahan ini dengan satu tujuan untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
Minggu, 25 Oktober 2009
SBY-Boediono
Pada hari Selasa, tanggal 20 Oktober 2009, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono telah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2009 hingga 2014. Seorang Presiden adalah pemimpin bagi rakyat di negara yang dipimpinnya. SBY akan memimpin Negara kepulauan di jamrud katulistiwa yang terdiri dari 17.508 pulau yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke dengan penduduk sekitar 230 juta. Negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam, namun masih tergolong sebagai Negara berkembang dengan pendapatan rata-rata rakyatnya yang masih rendah. Ini adalah kali kedua SBY dilantik, setelah untuk yang kedua kalinya pula dipilih secara langsung oleh sebagian besar rakyat Indonesia untuk memimpin negeri ini.
Setiap pemimpin tentu mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara yang dipimpinnya. Baik-buruknya, maju-mundurnya suatu bangsa dan negara adalah tanggung jawab Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun demikian sehebat apapun seorang pemimpin, apabila tidak didukung oleh rakyatnya, maka dia tidak akan dapat menjalankan pemerintahannya dengan baik. Hal itulah yang mendorong SBY untuk mengajak semua komponen bangsa untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara ini. Hal tersebut tercermin jelas dalam komposisi kabinet yang baru dilantiknya. Posisi menteri banyak diisi oleh orang-orang partai politik dan profesional atau gabungan keduanya, dengan latar belakang yang beragam, baik suku, agama maupun ras. Bahkan di parlemen, SBY dengan Partai Demokratnya juga telah menjalin koalisi dengan lima partai besar seperti PKS, PAN, PKB, PPP, dan Golkar atau telah menguasai lebih 60% kursi di parlemen. Bahkan PDIP yang sebelumnya menjadi oposisi, meski masih terkesan malu-malu, telah mengubah haluan politiknya dengan tidak lagi menjadi oposisi.
Keadaan ini tentu menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kekuasaan yang absolut dan otoritarian seperti masa Orde Baru silam, dimana DPR yang semestinya menjadi lembaga penyeimbang dan mengawasi jalannya pemerintahan, justru hanya menjadi lembaga tukang stempel yang mengiyakan apapun kebijakan pemerintah. Keadaan ini jelas mengancam kehidupan berdemokrasi di Negara yang sejak awal reformasi lalu dipuji oleh Negara-negara lain sebagai Negara demokrasi yang sukses. Namun demikian dapat dimaklumi juga mengapa SBY begitu berkeinginan untuk merangkul semua partai dalam koalisi besarnya. SBY tentu telah mengambil pelajaran yang sangat berharga dari kondisi pemerintahan yang dipimpinnya pada periode lima tahun sebelumnya, dimana pemerintah ketika itu sering menghadapi kendala dan tidak bisa leluasa menjalankan kebijakan-kebijakannya karena prilaku sebagian anggota parlemen yang terlalu sering mengkritik secara tidak proporsional setiap kebijakan pemerintah, bahkan sampai menggunakan hak angket dan ancaman-ancaman impeachment. DPR yang pada masa Orde Baru hanya sebagai tukang stempel, pada masa pemerintahan SBY justru menjadi lembaga yang sangat agresif dan overacting.
Demikianlah. Pemerintahan baru telah terbentuk, kita berikan kesempatan kepada mereka untuk mulai bekerja dengan baik, tidak adil rasanya, apabila baru dilantik kita sudah meragukan apalagi menilai kinerja mereka. Mari kita dukung pemerintahan ini dengan satu tujuan untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
Setiap pemimpin tentu mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara yang dipimpinnya. Baik-buruknya, maju-mundurnya suatu bangsa dan negara adalah tanggung jawab Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun demikian sehebat apapun seorang pemimpin, apabila tidak didukung oleh rakyatnya, maka dia tidak akan dapat menjalankan pemerintahannya dengan baik. Hal itulah yang mendorong SBY untuk mengajak semua komponen bangsa untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara ini. Hal tersebut tercermin jelas dalam komposisi kabinet yang baru dilantiknya. Posisi menteri banyak diisi oleh orang-orang partai politik dan profesional atau gabungan keduanya, dengan latar belakang yang beragam, baik suku, agama maupun ras. Bahkan di parlemen, SBY dengan Partai Demokratnya juga telah menjalin koalisi dengan lima partai besar seperti PKS, PAN, PKB, PPP, dan Golkar atau telah menguasai lebih 60% kursi di parlemen. Bahkan PDIP yang sebelumnya menjadi oposisi, meski masih terkesan malu-malu, telah mengubah haluan politiknya dengan tidak lagi menjadi oposisi.
Keadaan ini tentu menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kekuasaan yang absolut dan otoritarian seperti masa Orde Baru silam, dimana DPR yang semestinya menjadi lembaga penyeimbang dan mengawasi jalannya pemerintahan, justru hanya menjadi lembaga tukang stempel yang mengiyakan apapun kebijakan pemerintah. Keadaan ini jelas mengancam kehidupan berdemokrasi di Negara yang sejak awal reformasi lalu dipuji oleh Negara-negara lain sebagai Negara demokrasi yang sukses. Namun demikian dapat dimaklumi juga mengapa SBY begitu berkeinginan untuk merangkul semua partai dalam koalisi besarnya. SBY tentu telah mengambil pelajaran yang sangat berharga dari kondisi pemerintahan yang dipimpinnya pada periode lima tahun sebelumnya, dimana pemerintah ketika itu sering menghadapi kendala dan tidak bisa leluasa menjalankan kebijakan-kebijakannya karena prilaku sebagian anggota parlemen yang terlalu sering mengkritik secara tidak proporsional setiap kebijakan pemerintah, bahkan sampai menggunakan hak angket dan ancaman-ancaman impeachment. DPR yang pada masa Orde Baru hanya sebagai tukang stempel, pada masa pemerintahan SBY justru menjadi lembaga yang sangat agresif dan overacting.
Demikianlah. Pemerintahan baru telah terbentuk, kita berikan kesempatan kepada mereka untuk mulai bekerja dengan baik, tidak adil rasanya, apabila baru dilantik kita sudah meragukan apalagi menilai kinerja mereka. Mari kita dukung pemerintahan ini dengan satu tujuan untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
Langganan:
Postingan (Atom)