Hari ini, tanggal 1 Desember 2009, di Sentani, Provinsi Papua, sebagian rakyat Papua memperingati HUT Kemerdekaan Papua ke-48. Peringatan tersebut berlangsung dengan aman dan tertib tanpa pengibaran bendera Bintang Kejora, bendera Papua Merdeka.
Peringatan tersebut dilakukan hanya dengan acara ibadah syukuran di pendopo mendiang Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay. Acara dimulai dengan pembacaan doa pendeta, kemudian disusul dengan pidato politik Sekjen PDP, Thaha Al Hamid dan sejumlah tokoh adat lainnya. Dalam pidatonya, Al Hamid menekankan agar perjuangan Papua Merdeka dilakukan dengan cara-cara damai dan meminta pendukungnya untuk tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kalau kita membuka lagi sejarahnya, tanggal 1 Desember yang diperingati sebagai hari kemerdekaan Papua tersebut adalah peringatan atas suatu hari pada tanggal 1 Desember 1961, dimana Pemerintah Kolonial Belanda mengijinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di tanah Papua yang ketika itu masih dikuasai oleh Belanda, meski saudara-saudaranya yang lain di Maluku dan daerah lainnya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memproklamirkan kemerdekaannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, beberapa tahun kemudian, Papua akhirnya bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra atas terselenggaranya peringatan tersebut, sebagai Negara Demokrasi, Pemerintah Indonesia tentu berkewajiban untuk menghormati kebebasan berpendapat setiap warga negaranya yang dijamin oleh Undang-undang. Keputusan Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan izin atas peringatan tersebut sudah sangat tepat, tentu dengan syarat dapat berlangsung dengan aman dan tertib serta tidak melanggar Undang-undang, seperti pengibaran bendera, tindakan anarkis, dan sebagainya.
Setiap pihak, baik yang pro maupun yang kontra tentu didukung dengan argumentasinya masing-masing. Pihak yang pro akan mengatakan, Papua sesungguhnya sudah memperoleh kemerdekaan dari Belanda sebelum direbut oleh Indonesia, alasan lainnya secara etnis dan ras, rakyat Papua yang ras Melanesia berbeda dengan rakyat Indonesia umumnya yang Melayu. Sebaliknya pihak yang kontra akan mengatakan sesungguhnya Belanda tidak pernah memberikan kemerdekaan kepada rakyat Papua, alasan lainnya ras rakyat Papua sama dengan ras penduduk di Maluku dan Nusa Tenggara yang merupakan bagian dari Indonesia, sehingga tidak ada alasan bagi rakyat Papua untuk menolak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saya pribadi yang kebetulan dibesarkan di Papua, tentu sangat menghargai dan menghormati apapun pendapat dan aspirasi saudara-saudara saya di Papua, termasuk aspirasi untuk Merdeka. Perbedaan pendapat dan keinginan adalah hal yang wajar, sepanjang disampaikan dengan cara-cara yang damai dan santun. Sesungguhnya argumentasi apapun tidak ada yang mutlak benar, karena kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan. Oleh karenanya, sebagai ummat Tuhan, semestinya kita mengikuti kehendak Tuhan. Bukankah kehendak Tuhan adalah kita semua dapat hidup di dunia ini secara harmonis dalam persaudaraan dan cinta damai tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama?
Selasa, 01 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar